Kenapa
masih ada orang yang beranggapan orang-orang yang bertattoo identik
dengan seorang kriminal? Dan kenapa juga banyak para kriminal memasang
tattoo ditubuhnya?
seorang kriminal disebuah kantor polisi. Sekujur tangannya berhias tattoo berbentuk sesuatu yang tidak saya pahami. Menurut penalaran yang wajar, saya tahu tinta yang ia gunakan bukan tinta dengan kualitas yang baik yang justru menerbitkan rasa takut. Kesimpulan sementara saya lantas berubah setelah beberapa waktu kemudian saya teringat tentang tattoo miliki David Beckham. Dengan tinta berkualitas dan lokasi penempatan yang berbeda ternyata tattoo tersebut tidak menerbitkan rasa takut, tapi menerbitkan sesuatu rasa yang lain.
Ada masanya dulu di Indonesia banyak orang bertattoo jadi korban extra-judicial killings. Tubuh-tubuh bertattoo bergelimpang di pinggir jalan tanpa identitas. Jumlah korban kalau menurut Amnesty International diperkirakan mencapai ribuan orang. Hanya sedikit orang yang peduli karena toh mereka telah dianggap sebagai kriminal yang meresahkan dan atas nama keamanan umum perlu dimusnahkan. Necessary evil kata orang jaman sekarang. Pelakunya masih gelap, segelap pengetahuan ku , Padahal disaat ini justru kriminalitas berdasi tanpa tattoo namun mereka dengan berjalan bak raja menghamburkan uang rakyat dan saat tertangkap perlakuannya pun berbeda dengan sosok maling ayam yang bertattoo yang di gebukin dan di pukulin hingga babak belur.
Coba kita simak asal usul tattoo dan perkembangan sebenarnya:
AWALNYA, bahan untuk membuat Tattoo di tatto galery berasal dari arang tempurung yang dicampur dengan air tebu. Alat-alat di tatto places yang digunakan masih sangat tradisional. Seperti tangkai kayu, jarum dan pemukul dari batang. Orang-orang pedalaman masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum yang terbuat dari tulang binatang. Di kuil-kuil Shaolin menggunakan gentong tembaga yang dipanaskan untuk mencetak gambar naga pada kulit tubih. Murid-murid Shaolin yang dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan simbol itu, dengan menempelkan kedua lengan mereka pada semacam cetakan gambar naga yang ada di kedua sisi gentong tembaga panas itu. Jauh berbeda dengan sekarang. Saat ini, terutama di kalangan masyarakat perkotaan, pembuatan Tattoo di tattoos places dilakukan dengan mesin elektrik. Mesin di tattoos galery ini ditemukan pada tahun 1891 di Inggris. Kemudian zat pewarna di tatto galery menggunakan tinta sintetis dari tatto places (tinta tattoo).
Secara bahasa, tato berasal dari kata “tatau” dalam bahasa Tahiti. Menurut Oxford Encyclopedic Dictionary ~ tattoo v.t. Mark (skin) with permanent pattern or design by puncturing it and inserting pigment; make (design) thus ~ n. Tattooing (Tahitian tatau). Dalam Ensiklopedia Americana disebutkan bahwa tattoo , tattooing is the production of pattern on face and body by serting dye under the skin some anthropologists think the practice developed for the painting indication of status, or as mean obtaining magical protection (1975:312). Dalam bahasa Indonesia, istilah tato merupakan adaptasi, dalam bahasa Indonesia tato disebut dengan istilah “rajah”. Tato merupakan produk dari body decorating dengan menggambar kulit tubuh dengan alat tajam (berupa jarum, tulang, dan sebagainya), kemudian bagian tubuh yang digambar tersebut diberi zat pewarna atau pigmen berwarna-warni. Tato dianggap sebagai kegiatan seni karena di dalamnya terdapat kegiatan menggambar pola atau desain tato. Seni adalah “karya”, “praktik”, alih-ubah tertentu atas kenyataan, versi lain dari kenyataan, suatu catatan atas kenyataan”. Salah satu akibat dari dirumuskannya kembali kepentingan ini adalah diarahkannya perhatian secara kritis kepada hubungan antara sarana representasi dan obyek yang direpresentasikan, antara apa yang dalam estetika tradisional disebut berturut-turut sebagai “forma” dan “isi” karya seni (Hebidge, 2005 : 235-236). Nilai seni muncul sebagai sebuah entitas yang emosional, individualistik, dan ekspresif. Seni menjadi entitas yang maknawi. Berkaitan dengan tato, ia memang dapat dikategorikan sebagai entitas seni karena selain merupakan wujud kasat mata berupa artefak yang dapat dilihat, dirasakan, ia juga menyangkut nilai-nilai estetis, sederhana, bahagia, emosional, hingga individual dan subjektif (Sumardjo, 2000: 15-18). Dalam “General Anthropology” milik Melville Jacobs dan Bernhard J. Stern, tato merupakan salah satu bentuk dari seni grafis (1952:260).
Menurut tulisan Hatib Abdul kadir Olong dalam “Tato”, disebutkan bahwa tato memiliki makna sebagai budaya tanding (counter culture) dan budaya pop (pop culture). Budaya tanding atau counter culture adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai ajang perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Dengan kata lain, tato secara ideal merupakan bentuk penantangan, protes politis, hingga perang gerilya semiotik terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan. (2006:27). Kebudayaan tandingan banyak menyebabkan perubahan sosial. Apakah kebudayaan tandingan ini menyebabkan perubahan atau hanya mencerminkan dan menarik perhatian pada perubahan-perubahan yang terjadi dapat diperdebatkan? Dalam suatu kejadian, beberapa perilaku kebudayaan tandingan yang “tidak patut” pada saat ini, akan berada di antara norma-norma kebudayaan masa mendatang (Horton, 1984:74). Analogi yang kemudian dapat dilihat adalah terjadinya segregasi pandangan dan pemaknaan terhadap tato yang membawa kepermisivitasan. Komoditas tato akan mengakibatkan terjadinya gejala komersialisasi budaya populer yang mampu mengakibatkan matinya budaya tanding yang ada pada tato. Akibatnya, budaya tanding akan terjarah sendiri oleh pemaknaan baru. Komersialisai inilah yang membawa tato sebagai sebuah budaya pop. Budaya pop atau popular culture merupakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman) dan heterogenisasi (keragaman). Konsepsi keragaman (heterogenitas) dalam budaya pop juga diungkapkan bahwa terdapat dua pembagian terpisah dalam budaya populer, yakni : Pertama, budaya populer menawarkan keanekaragaman dan perbedaan ketika ia diinterpretasi ulang oleh masyarakat yang berbeda di lain tempat. Kedua, budaya pop itu sendiri dipandang sebagai sekumpulan genre, teks, citra yang bermacam-macam dan bervariasi yang dapat dijumpai dalam berbagai media, sehingga sukar kiranya sebuah budaya pop dapat dipahami dalam kriteria homogenitas dan standardisasi baku (Strinati, 2003:44-45). Fenomena tato menjurus ke budaya pop karena ia mulai terikat oleh formula produksi yang telah diuji dan digunakan oleh berbagai kalangan. Misalnya, iklan celana jins dengan seorang model yang menggunakan tato, musikus terkenal yang menggunakan tindik. Dalam hal ini, tato maupun tindik merupakan unsur pendorong semaraknya budaya pop dan budaya massa (Olong, 2006:21-22).
Tato Tradisional Yang Religius
Pemilik tato di Indonesia, selain masyarakat yang masih mempunyai tato tradisional, sekarang ini sering kali kita lihat di banyak tempat seperti lingkungan pergaulan, lingkungan akademik, media massa, dan lain-lain. Pada masa sekarang ini, kepemilikan tato sudah menjadi hal yang biasa dan ditoleransi sebagai sebuah tren fashion yang berkembang saat ini dengan beragam motifnya. Kepemilikan tato saat ini dianggap sudah lebih “bebas” dari unsur-unsur politik dan citra masyarakat mengenai tato yang bersifat negatif.
Seni tato bukanlah suatu hal yang baru, seni tato sudah berlangsung sejak lama, menurut data arkeologis pemakaian tato sudah ditemukan semenjak ditemukannya mumi bertato yang sudah ada sektar 4200 SM, dan lebih menarik lagi menurut data arkeologis tersebut tato telah hadir semenjak 30.000 tahun yang lalu. Tato merupakan seni, dan tubuh merupakan satu dari objek pertama dalam seni; sebuah objek alami dengan tambahan berupa simbol bertransformasi menjadi objek dalam kebudayaan (diambil dari Ember, 1977:271). Dekorasi tubuh semacam ini sering kali berkaitan dengan kepentingan religius, misalnya penggunaan tato tradisional Bali sebagai pencegah dari gangguan roh-roh jahat. Dekorasi tubuh juga mempunyai fungsi sebagai “nilai kecantikan” atau “nilai kejantanan” untuk menarik lawan jenis. Di Indonesia, penggunaan tato sudah terjadi sejak awal masuknya masehi, terutama pada masyarakat tradisional Indonesia yang memiliki budaya tato, misalnya pada masyarakat Mentawai, Dayak Iban, Dayak Kayan, dan pada masyarakat Bali. Bedanya dengan tato pada kebudayaan pop (yang akan menjadi fokus penelitian), menurut pakar dan peneliti tato, Drs. Ady Rosa, M.Sn. bahwa tato dalam kebudayaan pop hanya sebatas kesenangan, sebatas hiasan, dan simbol kaum muda untuk jati diri gengnya. Sedangkan tato tradisional, selain unik dan dahsyat, juga syarat simbol dan makna. Cuma sayangnya, tato tradisional ini terancam punah (diambil dari Olong, 2006:193). Seperti seni tato orang Indian (suku Kwakiutl) menampilkan gambaran beruang dan kodok pada tubuhnya untuk digunakan pada upacara-upacara tertentu dan untuk kepentingan status tertentu (lihat Boas 1955: 250-251). Lebih jelas lagi pada orang Maori yang menggambar tato wajah (dalam bahasa Maori: moko) adalah untuk mengidentifikasinya sebagai “tribesman” ~ seseorang yang sangat terikat hunbungan dengan leluhurnya Juga pada masyarakat Dayak di Kalimantan yang mempercayai tato dan gaya anting pada setiap orang maknanya berlainan. Gaya anting yang berbeda-beda menandakan perbedaan status atau jenis kelamin. Gaya-gaya tertentu menandakan bahwa seseorang adalah seorang yang jago atau gagah berani (Maunati, 2004:150).
Di Indonesia, jenis tato tertua adalah tato yang dimiliki oleh suku Mentawai, tato tersebut bersifat dan biasanya hanya berbentuk huruf. Bagi kalangan pelaku kriminal, tato adalah penanda. Seperti sebagian orang yang lain, mereka memanfaatkan tato untuk menunjukkan identitas kelompok. Tapi, ada juga tato yang memiliki sejarah sebagai alat ritual. Menurut catatan sejarah, orang Mentawai sudah menato badan sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM. Di Mentawai, tato dikenal dengan istilah titi. Dalam penelitian Ady Rosa, selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Sumatera Barat. Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya. Bagi masyarakat Mentawai, tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat itu, benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya. Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, ''Arat Sabulungan''. Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse. Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua memanggil sikerei dan rimata (kepala suku). Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti --seniman tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan masyarakat, seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki. Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punen enegat, alias upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti). Tubuh bocah yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa. Janji Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal lengan. Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola durukat di dada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung. Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. Di Indonesia, tato orang mentawai lebih demokratis dibandingkan pada masyarakat dayak yang lebih cenderung menunjukkan status kekayaan seseorang “makin bertato, makin kaya. Dalam keyakinan masyarakat Dayak, contohnya bagi Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Di kedua suku itu, menato diyakini sebagai simbol dan sarana untuk mengungkapkan penguasa alam. Tato juga dipercaya mampu menangkal roh jahat, serta mengusir penyakit ataupun roh kematian. Tato sebagai wujud ungkapan kepada Tuhan terkait dengan kosmologi Dayak. Bagi masyarakat Dayak, alam terbagi tiga: atas, tengah, dan bawah. Simbol yang mewakili kosmos atas terlihat pada motif tato burung enggang, bulan, dan matahari. Dunia tengah, tempat hidup manusia, disimbolkan dengan pohon kehidupan. Sedangkan ular naga adalah motif yang memperlihatkan dunia bawah. Charles Hose, opsir Inggris di Kantor Pelayanan Sipil Sarawak pada 1884 dalam bukunya Natural Man, A Record from Borneo , menceritakan janji burung gagak borneo dan burung kuau argus untuk saling menghiasi bulu mereka. Dalam legenda itu, gagak berhasil mulus melakukan tugasnya. Sayang, kuau adalah burung bodoh. Karena tak mampu, akhirnya kuau argus meminta burung gagak untuk duduk di atas semangkuk tinta, lalu menggosokkannya ke seluruh tubuh kuau, pemakan bangkai itu. Sejak saat itulah, konon, burung gagak dan burung kuau memiliki warna bulu dan ''dandanan'' seperti sekarang. Secara luas, tato ditemukan di seluruh masyarakat Dayak. Namun, Hose menilai, teknik dan desain tato terbaik dimiliki suku Kayan. Bagi suku ini, penatoan hanya dilakukan bila memenuhi syarat tertentu. Bagi lelaki, proses penatoan dilakukan setelah ia bisa mengayau kepala musuh. Namun, tradisi tato bagi laki-laki ini perlahan tenggelam sejalan dengan larangan mengayau. Maka, setelah ada pelarangan itu, tato hanya muncul untuk kepentingan estetika. Tapi, tradisi tato tak hilang pada kaum perempuan. Hingga kini, mereka menganggap tato sebagai lambang keindahan dan harga diri. Meski masyarakat Dayak tidak mengenal kasta, tedak kayaan, alias perempuan tak bertato, dianggap lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan yang bertato. Ada tiga macam tato yang biasa disandang perempuan Dayak Kayan. Antara lain tedak kassa, yang meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Lainnya adalah tedak usuu di seluruh tangan, dan tedak hapii di seluruh paha. Di kalangan suku Dayak Kenyah, penatoan dimulai ketika seorang wanita berusia 16 tahun, atau setelah haid pertama. Upacara adat dilakukan di sebuah rumah khusus. Selama penatoan, semua kaum pria dalam rumah tersebut tidak boleh keluar dari rumah. Selain itu, seluruh anggota keluarga juga wajib menjalani berbagai pantangan. Konon, kalau pantangan itu dilanggar, keselamatan orang yang ditato akan terancam. Dulu, agar anak yang ditato tidak bergerak, lesung besar diletakkan di atas tubuhnya. Kalau si anak sampai menangis, tangisan itu harus dilakukan dalam alunan nada yang juga khusus. Di masyarakat Dayak Iban, tato menggambarkan status sosial. Kepala adat, kepala kampung, dan panglima perang menato diri dengan simbol dunia atas. Simbol dunia bawah hanya menghiasi tubuh masyarakat biasa. Motif ini diwariskan turun-temurun untuk menunjukkan garis kekerabatan seseorang.
Bertato = Penjahat
Seni tato pun dalam perkembangannya tidak berjalan mulus. Ada suatu peristiwa yang menempatkan stigma yang negatif terhadap seni tato. Stigma semacam ini terjadi di segala penjuru dunia. Pelarangan terhadap tato kerap kali dilakukan, karena tato terpolitisasi sebagai sebuah image yang menunjukkan kelompok kriminal dan akhirnya mereka dimarjinalkan dalam kehidupan masyarakat. Di Jepang, dahulu, orang yang memiliki tato dianggap sebagai yakuza (organisasi kriminal). Di Eropa, pada sekitar abad ketiga tato mengalami ikonoklasme oleh agama kristen. Dewan gereja di Northumberland menyebutkan bahwa tato dilarang di Inggris karena dianggap identik dengan tindakan paganisme, penyembahan berhala yang terjadi pada 787 SM (Olong, 2006:145). Begitu pula di Indonesia antara tahun 1983-1985, terjadi pembasmian orang-orang bertato di Indonesia, suatu kasus pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak petrus (pembunuh misterius), yakni penembakan terhadap para preman atau residivis kriminal yang mayatnya ditaruh di tempat umum, jumlahnya mencapai 5000 jiwa (Adam 2004:147). Tato adalah indikasi utama untuk menunjuk bahwa seseorang itu kriminal yang harus ditembak atau tidak. …The […] tattooed men (were) always accused of criminality and almost never of specific crimes” (Siegel, 1998). Soeharto, mengatakan bahwa petrus (penembakan misterius) memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka menggangu ketentraman masyarakat. Memang saat itu menjadi kenyataan yang pahit bagi rakyat Indonesia, sehingga orang-orang merasa takut, yang mempunyai tato kemudian menyembunyikankan tatonya di balik pakaian. Yang jelas, pada kasus ini terjadi “politisasi tubuh”, tubuh dijadikan alat kendali untuk kepentingan negara, suatu alasan untuk mejaga stabilitas. Hal seperti ini juga termasuk pada pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia (Adam, 2004:131).
Menurut sumber di internet pun, bahkan di negara semaju Amerika Serikat pun tato masih sering diasosiasikan dengan pelaut-pelaut kasar atau kriminal. Di sana juga tato digunakan sebagai alat identifikasi untuk pengendalian sosial, seperti pada film dokumenter National Geographic: Skin, dimana para polisi akan mudah untuk membekuk kriminal-kriminal Chinese Overseas yang membentuk geng dengan melihat bentuk dan jenis tato tertentu yang menjadi penanda mereka. “Orang-orang yang bertato akan sulit bekerja” karena masih ada anggapan negatif yang tertempel dalam dirinya, terutama jika ia ingin bekerja sebagai pegawai negeri.
Sekarang, walaupun banyak orang yang berontak dan beranggapan bahwa tato merupakan bagian dari fashion, rasa minder atas penggunaan tato masih juga terjadi. Mungkin disebabkan karena citra tato yang sudah melambaga di masyarakat menyebabkan beberapa orang hanya memperlihatkan tato pada lingkungan pergaulannya saja, sedangkan di lingkungan yang lebih ketat (seperti keluarga) tato tersebut disembunyikan di balik pakaian. Egiw, seorang punk bassist band Keparat asal Bandung merasa tidak nyaman jika ia memperlihatkan tato kepada beberapa saudaranya, dan ia tutupi dengan pakaian berlengan panjang, sedangkan di luar itu ia bebas memperlihatkan tato di sekujur tubuhnya.
Kehidupan Tato Saat Ini
Seni tato sekarang ini menempati suatu kedudukan khusus dan menjadi pilihan di dunia fashion ¹. Tato dapat disejajarkan sebagai sebuah aksesori pelengkap gaya berpakaian masyarakat sekarang ini, terutama di kalangan anak muda di kawasan urban. Memiliki tato adalah selayaknya memakai “pakaian lain” dalam pakaian. Gaya ini juga muncul dari gembar-gembor media massa yang menampilkan figur publik yang memiliki tato di tubuhnya, seperti artis-artis yang sering kita lihat di televisi, terutama rocker-rocker Barat seperti Guns n’ Roses, Motley Crue, Red Hot Chili Pepper, dan lain-lain. Dan umumnya kawula muda kota-kota besar di Indonesia rela menjadi epigon penyandang tato gaya artis-artis tersebut. Idola dalam hal ini adalah sesorang yang menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri. Proses tahapan pengaruh idola terhadap pengikut atau pengadopsi tentunya akan melewati berbagai tahpan, yakni ; interest stage (terpesona / tertarik model penampilan seseorang), kemudian evaluation stage (mengevaluasi perlu / tidaknya melakukan peniruan), trial stage (mencoba menirukan bagian yang menarik hatinya), dan yang terakhir adalah adoption stage (mengambil keputusan, menirun sang idola) (Olong, 2006:47). Selain anak-anak muda, banyak orang yang “lebih dewasa” pun memilih untuk mempunyai tato di tubuhnya, sebagai pelengkap fashion dan mengikuti tren yang ada karena tren fashion dalam industri budaya pop berlaku bagi siapapun dan memasyarakat. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam bergaya, tergantung dari pilihan-pilihan individual masing-masing. Semua orang boleh menunjukkan gayanya yang khas sebagai sebuah self image yang akan dikenakannya untuk dijadikan performa dalam bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Idy Subandi Ibrahim sebagai pengantar dari buku Lifestyles : Sebuah Pengantar Komprehensif (David Chaney, 2003) bahwa “kita bergaya, maka kita ada”.
Tato dan Perubahan Sosial Budaya
Seni tato bergerak dan berubah dalam berbagai bentuk dan pemaknaan. Mulai dari fungsi-fungsi tradisional yang religius sebagai simbol status, kemudian ada masa ketika orang bertato harus ditembak mati, sampai pada saat ini tato sebagai tren fashion. Pemaknaan itu merupakan hal yang menjadi sudut pandang atau pemaknaan dari masyarakat. Bagaimana kondisi sosial menentukan nilai bagi subjek-subjek material seperti tato yang akan memberi pengaruh secara langsung terhadap penggunanya. Perubahan sosial masyarakat dalam memaknai tato ini berkaitan dengan kepentingan yang ada saat ini. Kemudian, bila dilihat secara antropologis maka pemaknaan dan fungsi dari tato ini berkaitan dengan teori struktural fungsional. Secara struktural, penggunaan tato berpengaruh pada tingkat kelompok masyarakat tertentu. misalnya, penggunaan tato pada masyarakat Mentawai tentu memiliki makna tersendiri. Tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Tato juga dipakai oleh kepala suku (rimata) Selain itu, bagi masyarakat Mentawai, tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat itu, benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh. Tato, juga dipakai pada seniman tato (sipatiti) . Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh media akhirnya stigma mengenai tato (bahwa tato=penjahat, kriminalitas, dan lain-lain) mulai berkurang. Karena masyarakat sendiri yang menilai bahwa tato tidak selamanya seperti itu.
Perubahan nilai terhadap tato ini sangat dipengaruhi juga karena konstruksi kebudayaan yang dianut oleh masyarakat. Kita harus memperhatikan konteks yang ada pada zaman ini. Tato tradisional mungkin menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis karena gambar yang digunakan berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat. Kemudian ada suatu masa ketika tato tersebut menyandang stigma yang negatif. Seperti pada kelompok Yakuza di Jepang, mereka menggunakan horimono (tato tradisional Jepang) pada tubuhnya. Karena organisasi Yakuza ini sering terlibat dengan hal-hal kriminal (seperti perjudian, narkoba), maka masyarakat terkonstruksi untuk melihat tato sebagai hal yang negatif. Lain halnya dengan perkembangan tato saat ini. Masyarakat mulai memahami tato sebagai simbol-simbol ekspresi seni dan sebagainya sehingga pemakaian tato lebih cenderung ke arah populer. Berawal dari pemberontakan terhadap stigma negatif, memang, namun hal ini dapat dipandang sebagai counter culture yang memberi perubahan dan variasi dalam kehidupan masyarakat.
Dilihat secara artistik, tato memang memiliki fungsi estetika. Tato dipandang sebagai wujud ekspresi seni. Meski begitu, bagi orang Mentawai atau Dayak, tato tetap memiliki fungsi sosial bukan hanya sebagai ekspresi seni tetapi fungsi religi dan politik (yaitu untuk menunjukkan kedudukan sosialnya ). Seperti yang dikatakan oleh William F.Ogburn, bahwa ada berbagai cara dalam perubahan budaya material dan non material. Perubahan dalam budaya material seringkali dianggap memiliki karakter progresif. Sedangkan dalam arena budaya non material, seperti pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai seringkali tidak menggunakan standar yang umum. Seperti pemaknaan tato yang sebenarnya juga tergantung pada interpretasi dari individu itu sendiri. Tato yang pada awalnya hanya digunakan sebagai simbol kekuasaan dan kedudukan sosial,sampai akhirnya tato dijadikan sebagai tren fashion. Jadi, penilaian bahwa tato itu baik atau buruk tergantung dari kondisi sosial yang ada. Fungsi sosial tato pada masyarakat tradisional dengan masyarakat urban juga berbeda. Bila pada masyarakat tradisional, tato memiliki fungsi religius politis, tetapi pada masyarakat urban fungsi tato lebih cenderung ke art. Maka, bukanlah hal aneh bila seorang Nafa Urbach atau Tora Sudiro dengan PD-nya memperlihatkan tato-nya kepada khalayak umum. Karena tato adalah seni dan itu terlepas dari apakah tato memiliki unsur religius-magis atau tidak, yang jelas itu semua tergantung pada interpretasi masyarakat atas pemaknaan tato. Karena “kita bergaya,maka kita ada”
sumber : http://indo15.blogspot.com/2009/09/tattoo-is-not-crime.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar